Skip to main content
Ariani Soekanwo, seorang wanita Indonesia yang lebih tua mengenakan jilbab biru, tersenyum ke arah kamera.

News

Aturan Hukum

Play audio version

Aktivis Hak Disabilitas Ariani Soekanwo Menggunakan Aturan Hukum Indonesia untuk Mencapai Inklusi di Setiap Sektor di Masyarakat

8 Juli 2022

YOGYAKARTA, Indonesia — Meski tidak dapat melihat lampu lalu lintas dengan jelas, Ariani Soekanwo tetap mengendarai sepeda motornya di jalan raya Yogyakarta yang padat. “Ya, saya hanya mengikuti orang-orang di sekitar saya; kalau mereka semua berhenti, artinya lampu merah dan saya juga berhenti,” katanya.

Ariani Soekanwo memiliki kemampuan melihat yang rendah sejak kecil dikarenakan retinitis pigmentosa, penyakit mata degeneratif turunan yang langka. Lahir pada tahun 1945 di Yogyakarta, sebuah kota di Jawa, Indonesia, beliau mengembangkan caranya sendiri untuk terlibat dengan dunia di sekitarnya. “Saya masih dapat bermain petak umpet dengan teman-teman saya, walau terkadang teman-teman saya tidak benar-benar bersembunyi karena mereka pikir saya tidak dapat mengenali mereka dari jauh,” ujarnya. “Saya menggunakan indera saya yang lain untuk mengenali mereka, seperti indera penciuman dan pendengaran saya. Saya bisa mengenali teman-teman saya dari bau dan suara langkah kaki mereka.”

Di usianya yang ke-76 tahun, Ibu Ariani telah menciptakan sebuah warisan abadi sebagai aktivis hak-hak disabilitas di Indonesia, dengan mengadvokasi untuk para penyandang disabilitas lainnya agar dapat sepenuhnya terlibat dalam setiap aspek di masyarakat. Selama bertahun-tahun, beliau telah membantu memulai beberapa organisasi hak-hak disabilitas di negaranya, yang masing-masing memiliki dampak signifikan pada segala hal mulai dari pemilihan umum yang inklusi hingga infrastruktur yang dapat diakses.

Dimulai saat di bangku kuliah, Ibu Ariani dan beberapa temannya mendirikan Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) pada tahun 1966. Untuk satu dekade berikutnya, saat beliau membantu menjalankan organisasi ini, beliau melihat kecenderungan yang memprihatinkan. Pada hampir semua pertemuan, Ibu Ariani menjadi satu-satunya perempuan penyandang disabilitas di ruangan. Saat itu, banyak perempuan Indonesia, khususnya mereka penyandang disabilitas, masih terkungkung di rumah mereka – tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat. Pada tahun 1997, dengan dukungan dari Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial, Ibu Ariani dan beberapa perempuan penyandang disabilitas lainnya memulai apa yang sekarang dikenal sebagai Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI). Saat ini, HWDI merupakan kekuatan nasional, dengan cabang di lebih dari 30 provinsi. Di antara upaya-upaya advokasinya, HWDI telah menjadi pendukung kuat untuk mengubah sebuah pasal dalam Undang-Undang tentang Perkawinan di Indonesia yang mengizinkan suami menceraikan istrinya jika sang istri mengalami disabilitas permanen. 

Menyadari partisipasi masyarakat sipil sebagai sumber kehidupan demokrasi, Ibu Ariani akhirnya mengalihkan perhatian beliau untuk memastikan hak-hak penyandang disabilitas untuk memilih (melalui tempat pemungutan suara dan praktik-praktiknya yang akses) dan juga untuk mencalonkan diri. Hingga akhir 1990-an di Indonesia, para penyandang disabilitas dilarang mencalonkan diri sebagai anggota dewan atau parlemen. Tiga pasal yang terlihat biasa dalam undang-undang pemilu sebenarnya bertanggung jawab atas hal ini. Yang pertama mempersyaratkan bahwa para calon harus memiliki “kesehatan mental dan fisik yang baik,” yang awalnya ditafsirkan sebagai menolak penyandang disabilitas. Yang kedua ada yang mempersyaratkan para calon harus dapat membaca dan menulis huruf Romawi, artinya mengesampingkan orang-orang yang buta. Yang terakhir ada yang mengatakan bahwa para calon legislatif harus mampu berbicara dan menulis dalam Bahasa Indonesia, yang menutup kesempatan penyandang disabilitas wicara.

Situasi tidak baik ini juga dialami para pemilih dari para penyandang disabilitas. Tempat-tempat pemungutan suara yang tidak akses – jalan masuk yang sempit, tidak adanya ram – mengakibatkan tingkat partisipasi pemilih di antara para penyandang disabilitas secara substansial lebih rendah dibandingkan populasi lainnya. Dalam sebuah survei oleh The Asia Foundation, hanya lebih dari setengah penyandang disabilitas Indonesia yang disurvei mengatakan bahwa mereka telah memberikan suara dalam pemilihan parlemen tahun 2009, dan 65,4 persen mengatakan bahwa mereka telah memberikan suara dalam pemilihan presiden sebelumnya. Ini 10 persen lebih rendah dari tingkat partisipasi resmi untuk populasi secara umum.

Untuk mengatasi masalah ini, Ibu Ariani dan beberapa rekan beliau dari organisasi penyandang disabilitas nasional lainnya membentuk PPUA Disabilitas (Pusat Pemilihan Umum Akses Disabilitas). Mereka mulai menginventarisi beberapa peraturan pemilu yang tidak mendukung penyandang disabilitas. Upaya mereka mulai membuahkan hasil. Sejak tahun 2004 hingga sekarang, terjadi peningkatan yang signifikan pada pemilih penyandang disabilitas yang berpartisipasi dalam pemilihan umum – bahkan pada pemilih penyandang disabilitas psikososial yang sebelumnya dianggap tidak kompeten secara hukum untuk memilih.

Sekelompok pekerja dari Komisi Pemilihan Umum Indonesia menghitung suara di Jakarta Utara.
Sekelompok pekerja dari Komisi Pemilihan Umum Indonesia menghitung suara di Jakarta Utara. Foto oleh Jeromi Mikhael.

Berkat upaya PPUA dan kelompok-kelompok lainnya, Indonesia mengesahkan “Undang-Undang No. 7 Tentang Pemilihan Umum” yang menghapuskan banyak kebijakan pemilu yang diskriminatif. Misalnya, Keterangan Pasal 240 undang-undang tersebut mengatakan, “Persyaratan sebagaimana tercantum dalam ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk membatasi hak politik warga negara penyandang disabilitas yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugasnya…” Pasal 350 mengamanatkan bahwa TPS harus “mudah diakses oleh pemilih berbadan sehat serta pemilih penyandang disabilitas.” Dengan adanya undang-undang ini, saat ini lebih banyak TPS di seluruh Indonesia yang menyediakan format surat suara Braille untuk pemilih tunanetra dan kotak suara yang lebih rendah untuk pengguna kursi roda. Petugas pemilu juga mengizinkan pemilih penyandang disabilitas untuk membawa pendamping ke tempat pemungutan suara jika membutuhkannya. Di sisi pencalonan, para penyandang disabilitas di setiap provinsi ikut mencalonkan diri pada pemilu terakhir.

Hingga saat ini, PPUA telah didirikan di hampir kesemua 34 provinsi di seluruh Indonesia, dan Ibu Ariani terus mendorong hak-hak disabilitas di semua sektor masyarakat. Usia bukanlah halangan bagi beliau. Semangat beliau untuk mendorong pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia mendorong beliau untuk tidak pernah berhenti berpikir dan berkarya. Bahkan setelah membentuk PPUA, beliau menginisiasi terbentuknya beberapa organisasi penyandang disabilitas (OPD) lainnya. Di antaranya adalah Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional, yang berfokus pada audit sarana dan prasarana umum untuk memastikan fasilitas dan infrastruktur tersebut dapat diakses dan menawarkan layanan yang inklusi, serta juga Permata Disabilitas, yang memberikan bantuan kepada anak-anak penyandang disabilitas dari keluarga berpenghasilan rendah. 

Kehadiran OPD-OPD seperti ini telah membawa perubahan hampir di setiap pelosok negeri. Ibu Ariani menyadari bahwa Indonesia masih harus menempuh jalan panjang untuk mencapai inklusi penuh bagi penyandang disabilitas, namun selangkah demi selangkah – satu organisasi demi satu organisasi – beliau dan rekan-rekannya bekerja untuk mencapai tujuan tersebut.

Mahretta Maha adalah Anggota DJP 2022 dan petugas program PPUA Disabilitas @2022 PPUA. Semua hak cipta dilindungi undang-undang.

News From the Global Frontlines of Disability Justice

Zulaihatu Abdullahi takes a selfi.

Failure to Inform

Zulaihatu Abdullahi dreamed of finishing school and building a home of her own. But at 19, she died of untreated kidney disease because no one could communicate with her in sign language. Her story reveals how Deaf Nigerian women are often left without lifesaving care. “If only she had access to healthcare where someone could guide her… explain each step, she might still be here,” says Hellen Beyioku-Alase, founder and president of the Deaf Women Aloud Initiative.

Read more about Failure to Inform

Sylvain Obedi reaches for an ecological briquette from a pile in front of him. He's at a clean cooking event led by the UN Development Programme's Youth4Climate initiative.

Disability in the Crossfire

In Goma, Democratic Republic of Congo, ongoing conflict and forced displacement have hit people with disabilities hardest. Rebel groups seized supplies from a clean cooking initiative designed to support displaced people with disabilities, leaving many trapped without aid. “It is still a big difficulty for authorities or government or humanitarian organizations to make a good decision which includes everyone,” says Sylvain Obedi of Enable the Disable Action.

Read more about Disability in the Crossfire

Two staff members at the Nahla Prosthetics & Orthotics Center in Gaza work in a small room, organizing medical supplies and prosthetic components.

Gaza’s Amputees

At the Nahla Prosthetics & Orthotics Center in Gaza, staff wake up each day wondering if it’s safe to open before treating a handful of people in need of new limbs, adjustments, or psychosocial support. With famine declared in Gaza City and aid restricted, the center faces mounting shortages of materials and trained technicians. “Our colleagues call the situation a nightmare with no end,” says Zaid Amali, Humanity & Inclusion’s senior advocacy officer in Palestine.

Read more about Gaza’s Amputees

Jean Baribwira, a Rwandan man with a physical disability, wears flip-flops on his feet to walk.

‘People like Me Can Dare to Dream of Standing Upright’

Rwanda’s decision to cover prosthetic and orthotic services under national health insurance is being hailed as a milestone for disability rights. Advocates say it marks a shift toward greater inclusion and access to essential mobility aids. “This is more than a health policy,” says Jean Baribwira. “It is dignity, inclusion, and hope.” For many, the change represents long-overdue recognition of mobility as a basic right.

Read more about ‘People like Me Can Dare to Dream of Standing Upright’

Douglas Izu, a Deaf Nigerian man, signs to the camera. An image of the nation of Nigeria is behind him.

More Than Words

In Nigeria, native sign languages like Yoruba, Hausa, and Igbo Sign Language are far more than communication tools. They are living expressions of Deaf identity and culture. While often dismissed as unsophisticated or “pidgin,” these local variants foster deep connection, creativity, and self-expression among Deaf communities, particularly those left out of formal education. “It isn’t something one can learn online,” says Douglas Izu. “One learns it through deep immersion in the adolescent Deaf community.”

Read more about More Than Words

John Shodiya, a DeafBlind man, poses for a photo. He is wearing a red, short-sleeve polo shirt and red glasses.

From Isolation to Advocacy

Nigeria’s DeafBlind community has long lacked recognition, but the launch of the Deaf-Blind Inclusive and Advocacy Network marks a turning point. Led by activist Solomon Okelola, the group seeks to address communication barriers and a lack of support. Among those affected is John Shodiya, who once thrived in the Deaf community but struggled with belonging after losing his sight.

Read more about From Isolation to Advocacy