
News
Berdiri Teguh
Play audio version
Pernah dirundung di usia muda, anggota DJP Naufal Asy-Syaddad mendorong anak-anak muda Indonesia penyandang autisme lainnya untuk mengetahui hak-hak mereka
8 Juli 2022
Ketika Naufal Asy-Syaddad masih duduk di bangku SMA, ibunya, Lani Setyadi melihat ada memar di sisi wajah Naufal. Naufal mengatakan bahwa dia terjatuh di sekolah, tetapi Bunda Lani tidak percaya. “Posisi [memarnya] sungguh mencurigakan saya,” katanya.
Bukan kebiasaan Naufal untuk berbohong. Sebagai orang dengan autisme, dia biasanya jujur. Akhirnya, dia mengakui bahwa ada insiden di sekolah asrama tempat dia bersekolah. Beberapa teman sekelasnya berkata jika seorang temannya sakit di kamar di dekatnya. Saat Naufal masuk ke sana, dia mulai dirundung. “Pertama … dia diminta untuk bernyanyi … dan setelah itu semua anak bilang mereka ingin bermain … bela diri,” kata Bunda Lani. Mereka minta Naufal memulai – dan lalu tujuh siswa kemudian memukulnya. Naufal akhirnya mengalami penggumpalan darah di otaknya serta cedera lainnya.
Saat yang paling jelas diingat Bunda Lani adalah setelah dia menemukan memar dan luka-luka lainnya. Ketika sedang duduk di depan sebuah masjid kecil di dekat rumah pada suatu sore, Naufal menoleh dan bertanya, “Mengapa orang ingin berbuat jahat kepada orang lain?”
“Saya percaya bahwa mereka penyandang autisme bukanlah sumber masalah,” kata Naufal. “Ini hanya karena ada ketidaksinkronan antara kebutuhan mereka dan lingkungan dan juga karena keterampilan, atau kurangnya keterampilan mereka, dalam berinteraksi atau merespons dengan baik terhadap sekitar mereka … Kami sangat disalahpahami. Kami dianggap kasar. Kami dianggap tidak sopan.”
Naufal, yang sekarang menjadi anggota Proyek Keadilan Disabilitas (DJP), didiagnosis menderita autisme pada usia 18 bulan. Ibunya memperhatikan beberapa tanda khas untuk anak seusianya – kurangnya kontak mata, melihat halaman yang sama di buku berulang-ulang, dan secara umum bersikap gelisah dan hiperaktif. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), satu dari 100 anak di seluruh dunia menderita autisme. Namun, di Indonesia, data untuk itu langka, dan tanpa angka konkret sebagai bukti akan perlunya sebuah layanan, maka respons pemerintah menjadi tidak memadai. Apa lagi di daerah-daerah pedesaan, terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang sepenuhnya menolak konsep autisme. Para orang tua dihakimi karena anak mereka terlihat kurang dapat mengendalikan diri, dan anak-anak muda dengan autisme ditinggalkan.

Naufal merayakan ulang tahunnya yang ke-20 bersama ibunya, Lani.
Khawatir akan anak-anak mereka, banyak orang tua seperti Bunda Lani mengambil inisiatif mendirikan pusat-pusat dan yayasan-yayasan autisme serta membangun komunitas pendukung mereka sendiri. “Pada tahun 2003 … ketika [Naufal] mulai masuk ke taman kanak-kanak, banyak taman kanak-kanak tidak menerimanya,” kata Bunda Lani, yang memiliki latar belakang bidang pendidikan. “[Mereka] mengatakan jika … kami memiliki anak seperti ini di sekolah kami … maka akan sulit … untuk dapat menarik siswa karena ada ‘anak nakal’ di sekolah ini.” Tidak lama setelah itu, Bunda Lani mulai menjalankan sekolah sendiri untuk anak-anak dengan autisme. Dia dan para stafnya di Yayasan Yogasmara juga bekerja untuk mendidik orang-orang tentang autisme dan mengadvokasi inklusi di sekolah-sekolah dan di seluruh masyarakat.
Di yayasan itulah Naufal telah menemukan rumahnya. Dia bekerja sebagai bagian tim keuangan dan mengetuai kelompok pemuda yayasan. Dia juga telah menjadi juru bicara organisasi, meningkatkan kesadaran tentang autisme di komunitasnya dan yang lebih luas lagi. Pada tahun 2015, Naufal terpilih menjadi “duta disabilitas” mewakili Indonesia dalam sebuah pelatihan di Thailand tentang hak-hak para penyandang disabilitas. Bunda Lani mengatakan bahwa Naufal butuh waktu bertahun-tahun untuk dapat bicara terbuka tentang autismenya. “Kami belajar tentang hak-hak disabilitas. Saya pikir ini merupakan langkah pertama baginya, membuatnya sadar bahwa tidak apa-apa … memiliki autisme dan itu bukan sesuatu yang buruk dan memang itulah dirinya,” lanjut Bunda Lani.
Selain menjadi juru bicara yayasan, Naufal telah muncul di media-media lokal karena alasan lain. Sejak usia dini, bakatnya dalam matematika sangat jelas terlihat. Ketika berusia 11 tahun, ia memenangkan kejuaraan matematika nasional pertamanya, dan sejak itu penghargaan terus dimenangkannya. Akhirnya, ia ditawari beasiswa untuk bersekolah di sebuah sekolah asrama – salah satu yang terbaik yang ada di Semarang, ibukota Jawa Tengah. Kenangan Naufal akan tahun-tahun itu penuh suka duka. “Saya sangat tertekan,” katanya, merujuk pada perundungan, “tetapi saya mampu menjadi kuat dan cukup kuat untuk menghadapi semua perundungan itu.”
Naufal kemudian meraih gelar sarjana matematika dari Universitas Diponegoro. Pengalaman kuliahnya jauh lebih berharga. “Teman-teman saya di perguruan tinggi … mereka menerima saya. Mereka menerima disabilitas saya,” katanya. “Saya telah belajar. Saya telah berkembang.”
Bunda Lani mengatakan yang memotivasinya untuk melakukan pekerjaan yang dia lakukan adalah selalu karena putranya. “Saya pikir semuanya selalu dipicu oleh kekhawatiran saya akan masa depan Naufal. Itu selalu yang terpikirkan,” katanya. “Kita perlu menciptakan lingkungan yang menerima [para penyandang autisme] apa adanya … dan kemudian memberikan kesempatan … dalam aspek kehidupan apa pun sehingga mereka dapat mendapatkan pengalaman, mereka dapat belajar.”
Jody Santos adalah direktur eksekutif yayasan dan pemimpin redaksi pada Proyek Keadilan Disabilitas.
News From the Global Frontlines of Disability Justice

‘People like Me Can Dare to Dream of Standing Upright’
Rwanda’s decision to cover prosthetic and orthotic services under national health insurance is being hailed as a milestone for disability rights. Advocates say it marks a shift toward greater inclusion and access to essential mobility aids. “This is more than a health policy,” says Jean Baribwira. “It is dignity, inclusion, and hope.” For many, the change represents long-overdue recognition of mobility as a basic right.
Read more about ‘People like Me Can Dare to Dream of Standing Upright’

More Than Words
In Nigeria, native sign languages like Yoruba, Hausa, and Igbo Sign Language are far more than communication tools. They are living expressions of Deaf identity and culture. While often dismissed as unsophisticated or “pidgin,” these local variants foster deep connection, creativity, and self-expression among Deaf communities, particularly those left out of formal education. “It isn’t something one can learn online,” says Douglas Izu. “One learns it through deep immersion in the adolescent Deaf community.”

From Isolation to Advocacy
Nigeria’s DeafBlind community has long lacked recognition, but the launch of the Deaf-Blind Inclusive and Advocacy Network marks a turning point. Led by activist Solomon Okelola, the group seeks to address communication barriers and a lack of support. Among those affected is John Shodiya, who once thrived in the Deaf community but struggled with belonging after losing his sight.

Disability Aid Disrupted
The Trump administration’s 90-day pause on USAID funding has had far-reaching consequences, particularly for disabled people and organizations worldwide, including members of the Disability Justice Project (DJP) community. Activists from Nigeria, the Democratic Republic of Congo, and Rwanda report severe disruptions, deepening challenges for marginalized communities, especially disabled people facing conflict, poverty, and structural discrimination.

A Life’s Work
After losing his sight, artist Jean de Dieu Uwikunda found new ways to create, using a flashlight at night to outline objects and distinguishing colors by their scents. His story, along with that of DeafBlind sports coach Jean Marie Furaha, is rare in Rwanda. While over 446,000 Rwandans have disabilities, a 2019 study found that only 52 percent of working-age disabled adults were employed, compared to 71 percent of their non-disabled counterparts.

‘I Won’t Give Up My Rights Anymore’
After a life-altering accident, Lakshmi Lohar struggled with fear and stigma in her rural Nepalese community. In 2023, she found a lifeline through KOSHISH National Mental Health Self-Help Organization, which helped her develop social connections and access vocational training in tailoring. Today, Lakshmi is reclaiming her independence and shaping a future beyond the limitations once placed on her. “I won’t give up my rights anymore,” she says, “just like I learned in the meetings.”