News
Hak untuk Mengakses Bantuan Sosial
Play audio version
Kebijakan Bantuan Sosial Indonesia Mengabaikan Keberadaan Individu dengan Disabilitas Psikososial/Mental
2 Agustus 2022
JAKARTA, Indonesia — “Bambang,” seorang anggota Asosiasi Kesehatan Mental Indonesia (IMHA) dengan skizofrenia yang tidak ingin disebutkan nama sebenarnya, menghadapi dilema. Dia menganggur, tetapi karena tinggal bersama ibu dan saudara perempuannya di sebuah rumah di pinggir jalan besar di Jakarta, dia tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan sosial publik. Meskipun Bambang tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan sendiri, layak atau tidak baginya untuk mendapatkan bantuan sosial didasarkan pada pendapatan keluarganya, bukan pendapatannya sendiri. Karena ibu dan saudara perempuannya tinggal di rumah yang lebih besar di bagian kota yang lebih makmur, mereka dianggap terlalu “kaya” bagi Bambang untuk memenuhi syarat mendapatkan bantuan. Ini menjadikan Bambang bergantung pada orang lain untuk kelangsungan hidupnya. Jika ia tinggal bersama keluarganya, ia ditolak untuk mendapatkan bantuan sosial; jika ia tidak tinggal bersama keluarganya, ia akan menjadi tunawisma.
Menurut Yeni Rosa Damayanti, ketua IMHA (juga dikenal sebagai Perhimpunan Jiwa Sehat), banyak penyandang disabilitas di Indonesia terpaksa tinggal bersama anggota keluarga – sepupu, bibi, orang tua – di garasi atau pada situasi perumahan yang kurang ideal lainnya. Yeni mengatakan bahwa skema perlindungan sosial pemerintah biasanya didasarkan pada keluarga, bukan individu. Agar dapat menerima bantuan sosial dari pemerintah Indonesia, seorang warga negara menjalani proses di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Pendaftar tidak boleh memiliki properti, mobil, atau tinggal di daerah “kaya”, di antara kriteria lainnya. Karena rumah keluarga Bambang bernilai lebih dari Rp. 1 miliar, dia tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan pemerintah. Kriteria seperti ini menyebabkan bantuan bagi banyak penyandang disabilitas ditolak.
UU No. 8 Tahun 2016 Pasal 17 menjamin “hak atas kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas [termasuk] rehabilitasi sosial, asuransi sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial,” dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) Pasal 19 mengakui hak penyandang disabilitas untuk memilih di mana mereka ingin tinggal tanpa kewajiban “untuk tinggal di pengaturan tempat tinggal tertentu.” Secara keseluruhan, penyandang disabilitas memiliki hak untuk hidup sendiri – untuk tidak bergantung pada siapa pun untuk kelangsungan hidup mereka – tetapi kebijakan bantuan sosial Indonesia membuat hal ini menjadi mustahil.
Sebuah survei tahun 2020 yang dipimpin oleh Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas (DPO) untuk Respons Covid yang Lebih Inklusi menemukan bahwa meskipun 9 persen orang Indonesia merupakan penyandang disabilitas, hanya 3 persen yang menerima manfaat perlindungan sosial secara teratur. Dalam laporan yang menyertai survei tersebut, penulisnya mencatat bahwa suara penyandang disabilitas sering kali tidak ada dalam pembuatan kebijakan – meskipun hal ini merupakan persyaratan dari UNCRPD.
Masalah ini kemudian bertambah dengan kenyataan bahwa halaman situs DTKS tidak dapat diakses; kinerjanya lambat karena jutaan penduduk Jakarta mengakses situs tersebut pada saat bersamaan dan karena juga berbagi server dengan kementerian lainnya. Pendaftar DTKS hanya memiliki waktu 30 hari untuk mendaftar setelah pemerintah mengumumkan periode pendaftaran yang dibuka kembali. Akibat lambatnya kinerja situs tersebut, yang diperparah dengan jumlah penduduk Jakarta, banyak orang seperti Bambang tidak memiliki cukup waktu untuk mendaftar sebelum tenggat waktu berakhir. Ketika ia mendaftar pada bulan Februari, Bambang mencoba mengakses situs tersebut beberapa kali sampai ia menyerah dan akhirnya mendaftar dengan bantuan seorang pejabat pemerintah daerah.
Pertama kali dikembangkan pada tahun 2015, sistem DTKS Kemensos mencakup data Penerima Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) untuk program-program seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Sembako, dan Kartu Penyandang Disabilitas Jakarta (KPDJ), yang terakhir ini yang diinginkan Bambang namun ditolak. Saat ini, ia harus memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia kesulitan mencari pekerjaan dan mencari bantuan dari organisasi penyandang disabilitas seperti IMHA. “Saya tidak mendapatkan bantuan tunai sama sekali …. Saya hanya mendapatkan bantuan sosial yang disalurkan melalui organisasi,” kata Bambang. Dia bukan satu-satunya anggota IMHA yang menghadapi masalah ini. Anggota IMHA lainnya terpaksa tinggal bersama keluarga yang tidak diakui pemerintah sebagai keluarga miskin, sehingga mereka tidak dapat menerima bantuan.
Ketidakkonsistenan pendataan di Indonesia menambah bara ke api. “Pemerintah harus lebih serius mengurus masalah disabilitas ini, mulai dari pendataan yang komprehensif dan menyeluruh…. Harus ada unit data yang handal yang digunakan untuk menyalurkan bantuan yang menjadi hak disabilitas,” kata Bambang. Kajian Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mencatat bahwa akses perlindungan sosial, salah satu dari berbagai hak yang dimiliki penyandang disabilitas tanpa diskriminasi, cenderung terbatas karena berbagai alasan. Termasuk di antaranya adalah terbatasnya informasi data terkait disabilitas di Indonesia. Keterbatasan informasi tersebut mengurangi urgensi pihak pemerintah untuk memprioritaskan dan mengalokasikan sumber daya kepada penyandang disabilitas.
Studi ini juga menyebutkan bahwa penyandang disabilitas menghadapi tantangan dalam mengakses berbagai bentuk akta kelahiran. Sebuah studi tahun 2014 yang dilakukan oleh kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia untuk program-program yang mendukung nilai-nilai keadilan (AIPJ), menemukan adanya kantor-kantor yang tidak dapat diakses dan “prosedur yang rumit” mempersulit penyandang disabilitas untuk mengajukan permohonan dan menerima dokumen identitas yang sah. Studi lainnya di tahun 2017 mengungkapkan bahwa alasan utama anak-anak Indonesia (dengan atau tanpa disabilitas) tidak memiliki akta kelahiran, yang diperlukan untuk mengakses layanan, adalah karena biaya. Banyak orang tua juga tidak menyadari pentingnya dokumen semacam itu – dan bahwa mereka berhak atas layanan publik ini. Meskipun studi TNP2K dan Pemerintah Australia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan akses akta kelahiran bagi semua anak, dokumen pemerintah yang tidak dapat diakses ini memperburuk tantangan yang dihadapi penyandang disabilitas ketika mencoba mendaftar untuk mendapatkan bantuan sosial.
Bambang tetap berharap ia akan menerima bantuan sosial di masa depan. “Saya sangat layak mendapatkan [Kartu Penyandang Disabilitas Jakarta] KPDJ karena saya penyandang disabilitas yang membutuhkan biaya lebih.”
Kinanty Andini adalah fellow DJP 2022 dan berafiliasi dengan Indonesian Mental Health Association (IMHA) yang juga dikenal sebagai Perhimpunan Jiwa Sehat. @2022 Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia. Semua hak cipta dilindungi undang-undang.
News From the Global Frontlines of Disability Justice
Disability in a Time of War
Ukraine’s long-standing system of institutionalizing children with disabilities has only worsened under the pressures of war. While some facilities received funding to rebuild, children with the highest support needs were left in overcrowded, understaffed institutions where neglect deepened as the conflict escalated. “The war brought incredibly immediate, visceral dangers for this population,” says DRI’s Eric Rosenthal. “Once the war hit, they were immediately left behind.”
The Language Gap
More than a year after the launch of Rwanda’s Sign Language Dictionary, Deaf communities are still waiting for the government to make it official. Without Cabinet recognition, communication in classrooms, hospitals, and courts remains inconsistent. “In the hospital, we still write down symptoms or point to pictures,” says Jannat Umuhoza. “If doctors used sign language from the dictionary, I would feel safe and understood.”
Failure to Inform
Zulaihatu Abdullahi dreamed of finishing school and building a home of her own. But at 19, she died of untreated kidney disease because no one could communicate with her in sign language. Her story reveals how Deaf Nigerian women are often left without lifesaving care. “If only she had access to healthcare where someone could guide her… explain each step, she might still be here,” says Hellen Beyioku-Alase, founder and president of the Deaf Women Aloud Initiative.
Disability in the Crossfire
In Goma, Democratic Republic of Congo, ongoing conflict and forced displacement have hit people with disabilities hardest. Rebel groups seized supplies from a clean cooking initiative designed to support displaced people with disabilities, leaving many trapped without aid. “It is still a big difficulty for authorities or government or humanitarian organizations to make a good decision which includes everyone,” says Sylvain Obedi of Enable the Disable Action.
Gaza’s Amputees
At the Nahla Prosthetics & Orthotics Center in Gaza, staff wake up each day wondering if it’s safe to open before treating a handful of people in need of new limbs, adjustments, or psychosocial support. With famine declared in Gaza City and aid restricted, the center faces mounting shortages of materials and trained technicians. “Our colleagues call the situation a nightmare with no end,” says Zaid Amali, Humanity & Inclusion’s senior advocacy officer in Palestine.
‘People like Me Can Dare to Dream of Standing Upright’
Rwanda’s decision to cover prosthetic and orthotic services under national health insurance is being hailed as a milestone for disability rights. Advocates say it marks a shift toward greater inclusion and access to essential mobility aids. “This is more than a health policy,” says Jean Baribwira. “It is dignity, inclusion, and hope.” For many, the change represents long-overdue recognition of mobility as a basic right.
Read more about ‘People like Me Can Dare to Dream of Standing Upright’