Transcript for Di Luar Kendali Mereka
Video dimulai dengan musik piano yang lambat.
Perlahan muncul Sadiah, seorang wanita Indonesia yang mengenakan jilbab hijau, duduk di sofa abu-abu dan berbicara ke kamera dalam Bahasa Indonesia: “Perkenalkan nama saya Sadiah, saya seorang disabilitas netra.”
Muncul gambar mundur Sadiah yang berlutut dan memijat kaki seorang klien yang berbaring di atas kasur abu-abu di lantai.
Muncul gambar mundur Sadiah memijat punggung klien, seorang pria Indonesia. Sulih suara Sadiah berlanjut, “Saya adalah ibu rumah tangga dan berprofesi sebagai Masseur atau juru pijat. Saya hanya memiliki tempat yang sangat sederhana.”
Muncul gambar mundur papan nama dalam Bahasa Indonesia mengiklankan Panti Pijat Tunanetra Rohim.
Muncul Sadiah yang duduk di dalam ruangan, “Sebelum pandemi saja saya sudah mengalami penurunan pendapatan.”
Muncul gambar papan dalam Bahasa Indonesia mengiklankan Panti Pijat Tunanetra Rohim. Sulih suara Sadiah berlanjut, “Misalnya kalo dulu bisa dalam satu hari saya mijat tiga atau empat pasien, untuk sekarang ini dalam satu hari satu saja atau satu minggu dapat tiga orang pasien saja itu sudah sangat beruntung.”
Muncul Sadiah berbicara, “Apalagi disaat pandemi kemarin dalam dua tahun kebelakang kemarin.”
Muncul matahari terbit di atas jalan perdagangan yang sepi. Beberapa burung terbang melintasi jalan dan hinggap di trotoar sebelah kiri.
Muncul Sadiah berbicara, “Kami para Masseur khususnya saya benar benar tidak ada pasien yang mau berkunjung ataupun memakai jasa saya atau jasa kami para massier tunanetra.”
Muncul close-up seorang pria Indonesia yang menekan tombol pada speaker besar yang diikatkan di dadanya sementara sebuah lagu diputar dari speaker. Dia berdiri di sebuah ruangan.
Muncul Sutoro, pria dengan speaker, bernyanyi dengan mikrofon yang kabelnya melingkari lehernya. Sutoro berambut abu-abu dan mengenakan kemeja merah dan emas. Dalam Bahasa Indonesia, suaranya berkata, “Nama Saya Sutoro.”
Muncul papan nama biru-putih dalam Bahasa Indonesia yang mengiklankan Panti Pijat Tunanetra Binaan Suku Dinas Sosial Jakarta Barat. Speaker Sutoro memainkan sebuah lagu di latar belakang.
Muncul Sutoro yang sedang memijat kaki klien yang berbaring di atas meja pijat warna warni. Sulih suara Sutoro berlanjut, “Dan profesi saya adalah juru pijat atau masseur.” Musik dari speaker Sutoro perlahan berganti menjadi musik piano yang emosional.
Muncul Sutoro yang berdiri di depan dinding putih dan berbicara ke kamera: “Namun karena situasi dan kondisi.”
Muncul Sutoro berkacamata hitam dan menggunakan tongkat putih berjalan di tepi jalan yang sibuk. Sebuah speaker diikatkan di dadanya, dan beberapa pengendara sepeda motor melaju di jalan. Sulih suara Sutoro berlanjut, “Saya akhirnya ganti profesi atau pindah profesi.”
Muncul Sutoro yang berdiri di dalam ruangan, “Yaitu kalo pagi saya pergi ke pasar untuk menjalankan aktivitas untuk menjadi seniman jalanan atau ngamen.”
Muncul Sutoro bernyanyi di mikrofonnya sambil menyesuaikan speakernya di sebuah ruangan.
Muncul foto seorang wanita Indonesia yang mengenakan jilbab hijau dan membawa banyak kantong kerupuk di sisi jalan. Seorang anak laki-laki Indonesia, mengenakan penutup topi baseball, berjalan bersamanya di sebelah kiri. Mobil-mobil dan pengendara sepeda motor melintas di jalan. Suara sulih Sutoro melanjutkan, “Kalo sore hari saya berjualan kerupuk.”
Muncul gambar mundur Sutoro memijat kaki klien di atas meja pijat warna warni. Suaranya berlanjut, “Keliling karena profesi pijat tidak mencukupi kebutuhan sehari hari.”
Muncul seorang pemijat yang merupakan seorang wanita Indonesia berambut hitam yang diikat ke belakang. Dia memijat kaki seorang wanita kulit putih di atas meja pijat mewah yang menghadap ke laut. Klien tersenyum saat menerima pijatannya.
Muncul gambar close-up seorang pemijat yang sedang memijat kaki klien. Sutoro melanjutkan, “Karena sekarang sudah banyak sekali orang – orang liat pada terjun memijat.”
Muncul Sutoro, “Dan sekarang banyak sekali tempat – tempat pijat yang tempatnya lebih mewah karena dia punya uang.”
Muncul wanita Indonesia yang sedang memijat punggung klien lain di atas meja pijat. Kliennya adalah seorang wanita kulit putih yang mengenakan bikini. Matahari terbenam di atas pepohonan dan sebuah bungalow di latar belakang. Sutoro melanjutkan, “Sehingga profesi pijat dari tunanetra itu tersisih.”
Muncul gambar mundur sebuah pasar yang sibuk di Jakarta dan pengendara sepeda motor yang parkir di dekat kios-kios pasar. Dua gedung tinggi kembar berada di latar belakang. Sulih suara Sutoro berlanjut, “Maka dengan terpaksa saya beralih profesi.”
Muncul Sutoro berbicara, “Menjadi seniman jalanan itu sebenarnya tantangannya cukup berat.”
Muncul beberapa pejalan kaki dan pengendara sepeda motor yang melewati seorang pengamen, yang buta, di pasar yang sibuk. Pengamen itu, seorang pria Indonesia dengan rambut pendek beruban, memegang tongkat putih. Sebuah mikrofon yang kabelnya melingkari lehernya, dan sebuah speaker diikatkan di dadanya. Pengendara sepeda motor membunyikan klakson dan pejalan kaki berbicara di latar belakang. Sulih suara Sutoro berlanjut, “Kalo di pasar kenndalanya yaitu yang jelas lalu lalang motor.”
Muncul Sutoro yang berbicara, “Jadi kita harus bener hati hati karena lalu lalang motor itu cukup banyak sekali yang mondar mandir.”
Muncul sang pengamen, yang buta, di pasar yang ramai.
Muncul penjual kerupuk, seorang wanita Indonesia yang mengenakan jilbab krem, duduk di pinggir jalan yang ramai dengan banyak kantong kerupuk. Sang penjual makan dari salah satu kantong kerupuk. Seorang gadis Indonesia berambut hitam panjang duduk di sebelah wanita tersebut sementara seorang pengendara sepeda dan pengendara sepeda motor melintas di jalan.
Muncul penjual kerupuk lainnya, seorang wanita Indonesia dengan rambut hitam yang diikat ke belakang, duduk di sisi jalan yang sibuk. Beberapa kantong kerupuk tergantung pada tongkat coklat di depannya, dan beberapa pengendara sepeda motor melintas di jalan. Sulih suara Sutoro berlanjut, “Kalau jualan kerupuk sekarang tidak hanya tunanetra yang jualan, sekarang orang liat pun jualan.”
Muncul penjual kerupuk kedua yang sedang duduk di pinggir jalan yang ramai di malam hari. Mobil-mobil dan pengendara sepeda motor lalu lalang di jalan. Sulih suara Sutoro berlanjut, “Jadi memang semakin sepi bahkan saya sering buang karena tidak terjual.”
Muncul Sutoro yang berbicara, “Sehingga melempem kerupuk itu akhirnya terbuang.”
Muncul seorang pengamen, seorang pria Indonesia berambut hitam pendek, bernyanyi di mikrofon dari tepi jalan pada malam hari dan memegang tongkat putih. Pengendara sepeda motor melintas di jalan, dan suara-suara lalu lintas menjadi latar belakangnya.
Muncul Eka Setiawan, seorang pria paruh baya Indonesia berambut hitam pendek. Setiawan mengenakan kemeja abu-abu, duduk di depan tembok kuning, dan berbicara kepada kamera dalam Bahasa Indonesia: “Saya Eka Setiawan.”
Muncul Setiawan mengenakan topi sholat putih, headphone kecil putih, dan berbicara melalui pengeras suara di sebuah pertemuan besar. Sebagian besar wanita pada pertemuan tersebut mengenakan jilbab hitam, dan sebagian besar pria berambut hitam pendek. Seorang wanita berambut hitam, dan seorang pria mengenakan topi sholat biru-putih. Semua peserta rapat memakai masker wajah. Sulih suara Setiawan berlanjut, “Saya seorang aktifis tunanetra yang memperjuangkan hak – hak penyandang disabilitas.”
Muncul Setiawan yang berdiri di depan tembok kuning, “Sejak Indonesia meratifikasi UN-CRPD di tahun 2011 dengan Undang – undang 19 tahun 2011 yang kemudian domestisasi Undang – undang penyandang disabilitas, Indonesia menerbitkan undang – undang disabilitas pada tahun 2016.”
Muncul gambar layar teks hitam di layar putih bertuliskan, “PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA | UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENYANDANG DISABILITAS,” dalam Bahasa Indonesia.
Muncul Setiawan yang berbicara, “Sampai dengan hari ini kondisi yang ada masih menempatkan penyandang disabilitas menjadi.”
Muncul seorang pengamen, seorang pria Indonesia yang mengenakan topi baseball hitam. Pria itu bernyanyi dengan mikrofon yang kabelnya melingkar di lehernya, dan sebuah speaker yang diikatkan di dadanya. Dia berjalan dari mobil ke mobil di jalan yang sibuk, dan suara lalu lintas menjadi latar belakangnya. Setiawan melanjutkan, “Khususnya tunanetra menjadi yang sulit dalam menjalankan profesinya.”
Muncul Sadiah yang sedang memijat kaki seorang klien di atas kasur abu-abu.
Muncul Setiawan yang berbicara, “Dan kebetulan sebagian besar tunanetra masih berprofesi sebagai juru pijat.”
Muncul Setiawan berbicara, “Di situasi saat ini profesi juru pijat bagi tunanetra kelihatannya sudah bukan sebagai profesi yang menjanjikan.”
Muncul Sutoro memijat kaki klien di atas meja pijat warna-warni.
Muncul gambar mundur dari handuk putih di atas meja pijat mewah di sebuah panti pijat. Lampu-lampu hijau kecil berjajar di salah satu bagian lantai di depan meja pijat.
Muncul Setiawan berbicara, “Profesi juru pijat ini sudah digeluti oleh banyak kalangan non disabilitas yang tentunya kemasannya bisa jauh lebih baik dan dengan modal yang jauh lebih kuat sehingga menempatkan teman – teman disabilitas tunanetra menjadi tersisihkan dalam profesi pijatnya.”
Mucul seorang pengamen, seorang pria Indonesia dengan rambut hitam dengan gaya rambut ditarik ke belakang, bernyanyi di mikrofon di jalan yang sibuk di sebuah pasar. Pejalan kaki dan pengendara sepeda motor melewatinya, dan musik diputar dari pengeras suara.
Muncul seorang wanita Indonesia, mengenakan jilbab krem, berhenti untuk memberikan uang kepada seorang pengamen di pasar yang sibuk. Sang pengamen, seorang pria Indonesia, mengenakan topi biru dan menggunakan tongkat putih. Seorang pengendara sepeda motor melintas di dekat pengamen, dan beberapa orang di pasar mengenakan masker wajah. Sulih suara Setiawan berbicara, “Mau tidak mau teman – teman tunanetra alih profesi.”
Muncul Setiawan yang berbicara, “Saya yakin betul teman – teman tunanetra memahami pekerjaan – pekerjaan yang mereka lakukan ini adalah pekerjaan yang beresiko.”
Muncul seorang wanita Indonesia yang mengenakan jilbab coklat dan memegang tongkat putih di jalan yang sibuk. Dia bernyanyi pada mikrofon yang terpasang di lehernya, dan sebuah speaker diikatkan ke dadanya. Sulih suara Setiawan berlanjut, “Tetapi tidaklah banyak pilihan profesi yang bisa dilakukan oleh teman – teman tunanetra. Bahwa perlu terus dilakukan advokasi.”
Muncul Setiawan yang berbicara, “Harapan yang bisa disampaikan kesemua pihak bahwa kesempatan buat teman – teman penyandang disabilitas atau tunanetra sebagai juru pijat memang harus dibuka seluas luasnya.”
Muncul seorang wanita Indonesia yang mengenakan jilbab putih. Dia menghentikan seorang pengamen, seorang pria Indonesia berambut hitam dengan gaya rambut ditarik ke belakang, untuk memasukkan uang ke dalam tasnya di sebuah pasar yang ramai. Musik diputar dari speakernya.
Muncul Setiawan berbicara, “Dan sebetulnya bisa dikelola lebih baik misalnya di dunia pariwisata, dunia perhotelan.”
Muncul gambar udara dari sebuah hotel mewah di Indonesia. Sebuah kolam besar dan pepohonan mengelilingi hotel.
Muncul Setiawan berbicara, “Sehingga tunanetra lebih memiliki peluang yang lebih baik di profesinya sebagai juru pijat.”
Memudar ke teks hitam dengan garis tepi kuning di layar hitam yang bertuliskan, “Copyright – @2022 PPUA Disabilitas. Semua hak cipta dilindungi undang-undang.”
Memudar ke teks hitam dengan garis tepi kuning pada layar hitam yang bertuliskan, “Dibuat dengan dukungan dari Proyek Keadilan Disabilitas dan Dana Hak Disabilitas.” Logo Proyek Keadilan Disabilitas adalah huruf “D” besar berwarna kuning dengan tombol putar hitam di tengahnya untuk menandakan video bercerita, dan tulisan teks putih yang berarti “Proyek Keadilan Disabilitas” di kiri bawah. Logo Disability Rights Fund – kotak putih dengan teks hitam bertuliskan, “Disability Rights Fund” – berada di kanan bawah layar.