Skip to main content
Sustia Rini berpose di depan kamera.
Sustia Rini ditolak perawatan kesehatan gratisnya karena sebelumnya dia berutang kepada pemerintah.

News

Hak atas Kesehatan

Play audio version

Perjuangan Perempuan Penyandang Disabilitas Indonesia untuk Mengakses Layanan Kesehatan Gratis

12 Juli 2022

MATARAM, Indonesia — Berdasarkan survei tahun 2020 oleh Badan Pusat Statistik Indonesia, sekitar 22,5 juta penduduk di Indonesia adalah penyandang disabilitas. Secara teori, mereka berhak atas layanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas seperti orang lainnya. Dalam hal ini, “Undang-Undang No. 8 tentang Penyandang Disabilitas” tahun 2016 di Indonesia sudah jelas: penyandang disabilitas harus memiliki akses yang sama terhadap perawatan, pengobatan, dan informasi medis yang menyelamatkan nyawa, seperti bagaimana melindungi diri mereka dari COVID-19 dan penyakit menular lainnya. Pada tahun 2011, pemerintah Indonesia juga meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD), yang mewajibkan negara-negara peserta untuk “menyediakan kepada penyandang disabilitas  layanan dan program kesehatan yang murah, bermutu, dan berstandar, gratis atau terjangkau yang sama seperti yang diberikan kepada orang lain.”  

Namun, enam tahun setelah Indonesia mengesahkan undang-undang disabilitas dan sebelas tahun setelah Indonesia meratifikasi UNCRPD, penyandang disabilitas di Indonesia tidak memiliki akses yang sama terhadap layanan kesehatan. Alasannya sangat banyak dan kompleks. Beberapa berhubungan langsung dengan diskriminasi (secara individu dan tersistem), dan lainnya berhubungan dengan sebuah lingkaran setan bagi banyak penyandang disabilitas Indonesia. Hidup dalam kemiskinan karena hambatan pendidikan dan pekerjaan, mereka tidak mampu membayar layanan kesehatan. Dipaksa untuk hidup tanpa perawatan medis, mereka menjadi lebih sakit dan mungkin lebih terhambat dan jatuh lebih dalam ke dalam lilitan hutang.

Sustia Rini, yang biasa dipanggil “Rini,” adalah seorang wanita berusia 37 tahun penyandang disabilitas yang tinggal di Mataram, ibu kota provinsi Nusa Tenggara Barat. Ketika berusia enam tahun, dia mengalami demam tinggi, dan meskipun orang tuanya telah berusaha keras, penyakitnya mengakibatkan disabilitas permanen – kelemahan di kaki kirinya yang membuatnya sulit berjalan. Pada tahun 2005 Rini menikah, dan dia dan suaminya memiliki empat anak. Ketika hamil anak ketiga, Rini mengajukan permohonan untuk mendapatkan yang dikenal sebagai kartu asuransi kesehatan BPJS untuk mengurangi biaya melahirkan di rumah sakit. Dia membayar premi sekitar Rp. 120 ribu per bulan untuk dirinya dan keluarganya – biaya yang besar bagi Rini, yang tidak memiliki penghasilan tetap. Setelah melahirkan, dia memutuskan untuk berhenti membayar biaya tersebut. Dia tidak sakit, dia beralasan, jadi mengapa harus membayar untuk sesuatu yang tidak dia gunakan? Rini tidak pernah menyadari dampak hal ini pada dirinya dan keluarganya. Ketika dia sangat membutuhkannya, asuransi kesehatan justru berada di luar jangkauannya.

Reformasi Layanan Kesehatan di Indonesia

Sejak tahun 2014, Indonesia telah mereformasi sistem asuransi kesehatan nasionalnya untuk memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah asuransi kesehatan universal yang bersifat wajib. Tujuannya adalah untuk mendorong masyarakat Indonesia untuk mengakses layanan kesehatan ketika mereka membutuhkannya dan untuk melindungi dari kemiskinan pada rumah tangga karena biaya medis yang selangit. JKN dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pada tahun 2019, 220 juta penduduk Indonesia – hampir 84 persen dari total populasi – adalah peserta JKN.

Peserta dibagi menjadi dua kelompok besar: penerima bantuan premi (PBI) dan penerima bantuan non-premi (non-PBI). Penerima manfaat PBI adalah kaum “miskin” atau “hampir miskin”, dan premi mereka ditanggung oleh pemerintah. Penerima manfaat non-PBI mencakup pekerja primer (mereka yang memiliki pekerjaan tetap); pekerja sekunder (mereka yang telah/sedang/akan memiliki pekerjaan sementara); dan non-pekerja (mereka yang menganggur). Disebut sebagai “peserta mandiri,” pekerja sekunder dan non-pekerja dalam kelompok penerima manfaat non-PBI membayar premi secara mandiri; sementara pemberi kerja membayar premi pekerja primer.

Ketika Rini pertama kali mengajukan permohonan kartu asuransinya, dia melakukannya sebagai peserta mandiri. Setelah dia membiarkan pembayarannya terhenti selama dua tahun, anak pertamanya jatuh sakit pada tahun 2015 dan dirawat di rumah sakit. Tagihan pengobatannya jauh lebih besar dari kemampuannya, sehingga Rini memutuskan untuk mengajukan permohonan kembali untuk asuransi kesehatan Indonesia sebagai penerima PBI. Meskipun Rini memenuhi syarat sebagai “miskin/dekat miskin,” ternyata ada permasalahan. Dia harus melunasi hutangnya sebagai peserta mandiri sebelum dia bisa menerima PBI, itu yang dikatakan kepadanya. Rini terjebak. Meskipun dia “cukup miskin” untuk memenuhi syarat PBI, kurangnya pendapatan membuatnya tidak dapat melunasi tagihan sebelumnya agar dia dapat menerima asuransi yang gratis. “Sebagai ibu rumah tangga dan kepala rumah tangga, saya tidak mampu membayar tunggakan selama kurang lebih 8 tahun,” katanya. “Itulah kendala yang saya temukan ketika saya ingin membuat PBI untuk anggota keluarga saya.” Karena tidak ada tempat untuk berpaling, ia meminjam uang dari saudaranya untuk membayar tagihan rumah sakit anaknya.

Di Indonesia, perempuan penyandang disabilitas sering kali merupakan “yang termiskin dari yang miskin” dan sangat rentan terhadap kekerasan berbasis gender. Rini tidak terkecuali. Pada tahun 2019, ia meninggalkan suaminya karena kekerasan, dan ia tidak pernah memiliki pekerjaan tetap. Sekarang, setiap kali dia atau anggota keluarganya membutuhkan layanan kesehatan, dia menghadapi pilihan sulit yang dapat mendorongnya dan anak-anaknya lebih jauh ke dalam kemiskinan.

Di Indonesia, banyak peserta mandiri seperti Rini yang tidak membayar premi. Mereka mendaftar ketika sakit dan berhenti membayar setelahnya. Menurut Kementerian Keuangan, pada tahun 2018 46,3 persen peserta mandiri tidak membayar premi mereka, sehingga total utang antara tahun 2016 dan 2018 sekitar satu miliar dolar AS. Rini juga tidak sendirian dalam perjuangannya untuk mendapatkan kartu PBI. Hasil asesmen Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Provinsi NTB menunjukkan sebanyak 20 perempuan penyandang disabilitas di Kecamatan Kediri, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, belum memiliki kartu BPJS, baik mandiri maupun PBI. Selain tantangan untuk melunasi utang sebelumnya, penyandang disabilitas, terutama perempuan, tidak terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Hal ini secara otomatis membuat mereka tidak dapat menerima bantuan sosial apa pun, termasuk BPJS PBI.

Harapan bagi Perempuan Penyandang Disabilitas di Lombok Barat

Dalam wawancara dengan Proyek Keadilan Disabilitas (Disability Justice Project) pada Juni lalu, H. Zuljipli, M.M., Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat, mengatakan bahwa aturan PBI sebenarnya sudah berubah pada 2020. Pemerintah daerah Kabupaten Lombok Barat mengajukan permohonan kepada BPJS: untuk menerima warga Lombok Barat ke dalam program PBI meskipun mereka yang berhutang sebagai mantan peserta non-PBI. Artinya, warga Lombok Barat seperti Rini kini bisa mengajukan PBI tanpa melunasi utangnya terlebih dahulu. “Masyarakat miskin tentu saja adalah orang yang tidak mampu membiayai dirinya sendiri untuk pembiayaan kesehatan primer … di puskesmas rawat jalan, di rawat inap di rumah sakit,” kata Zuljipli. “Kami memprioritaskan disabilitas.” Mendengar berita ini, Rini merasakan kelegaan yang luar biasa – untuk dirinya sendiri dan untuk semua perempuan penyandang disabilitas di komunitasnya yang membutuhkan asuransi kesehatan gratis. Dia sekarang bersiap untuk mengajukan PBI dengan bantuan HWDI Provinsi NTB.

Dalam wawancaranya dengan Proyek Keadilan Disabilitas, Zuljipli juga mengatakan bahwa pihaknya memiliki 3000 lembar tambahan layanan kesehatan gratis untuk didistribusikan, sehingga organisasi seperti HWDI Provinsi NTB akan mulai mendata para penyandang disabilitas yang belum memiliki kartu BPJS PBI, mendorong mereka untuk mendaftar. Terkait persyaratan DTKS, Zuljipli mengatakan bahwa DTKS memang diperlukan untuk mendapatkan kartu BPJS kesehatan jika BPJS didanai oleh Kementerian Sosial. Namun, karena banyak warga Lombok Barat yang tidak masuk dalam DTKS, maka Dinas Kesehatan Lombok Barat berinisiatif agar BPJS dibiayai oleh pemerintah daerah Kabupaten Lombok Barat sehingga masyarakat bisa mendaftar BPJS PBI tanpa menggunakan persyaratan DTKS.

Rini mengatakan bahwa asuransi kesehatan gratis akan berdampak signifikan pada semua bidang kehidupannya. Dengan tidak lagi bergantung pada orang lain untuk membayar tagihannya, dia dan keluarganya akan tumbuh lebih kuat dan lebih mandiri. Mereka akan dapat mengakses layanan kesehatan saat mereka membutuhkannya. Saat ini, Rini sedang belajar untuk menjadi paralegal sehingga dia dapat membantu perempuan penyandang disabilitas lainnya yang pernah mengalami kekerasan. Dia berharap, setidaknya di komunitasnya, dia dapat membantu membalikkan beberapa statistik yang buruk sekali yang telah terlalu lama menjadi petaka bagi para perempuan penyandang disabilitas.

Sri Sukarni adalah DJP Fellow 2022 dan ketua HWDI Provinsi NTB. @2022 HWDI. Semua hak cipta dilindungi undang-undang.

News From the Global Frontlines of Disability Justice

Srijana KC smiles at the camera. She has long dark hair and is wearing a red scarf and green cardigan sweater.

Voices Unsilenced

Often dismissed as a personal concern, mental health is a societal issue, according to Srijana KC, who works as a psychosocial counselor for the Nepali organization KOSHISH. KC’s own history includes a seizure disorder, which resulted in mental health challenges. She faced prejudice in both educational settings and the workplace, which pushed her towards becoming a street vendor to afford her medications. Now with KOSHISH, she coordinates peer support gatherings in different parts of Nepal. “It is crucial to instill hope in society, recognizing that individuals with psychosocial disabilities can significantly contribute,” she says.

Read more about Voices Unsilenced

Three fellows with the Disability Justice Project stand behind their cameras in a room. One is blind and one is low vision.

Capturing Vision Through Sound and Touch

Last summer, the DJP trained Indigenous activists with disabilities from the Pacific on the iPhone camera to create a documentary series on disability and climate change. With VoiceOver, the iPhone provides image descriptions for blind and low-vision filmmakers and offers other accessible features. “If you think about it, it doesn’t make sense for a blind person to use a camera,” says DJP filmmaker Ari Hazelman. “The iPhone gives you more avenues to tell your story in a more profound way as a blind person.”

Read more about Capturing Vision Through Sound and Touch

Sharma sits next to one of his subjects - a man from the nomadic Raute people.

Beyond the Frame

DJP mentor Kishor Sharma is known for his long-term photography and film projects exploring community and change. Over the last 12 years, he has been documenting the nomadic Raute people in mountainous Nepal. With any project, Sharma aims to actively engage participants, sharing photography and videography techniques. In September, Sharma became a mentor to DJP Fellow Chhitup Lama. He was eager to connect “this idea of sharing the visual technique with the storytelling idea and the issue of disability inclusion.”

Read more about Beyond the Frame

Thacien Nzigiyimana stands in front of rubble outside one-story stone buildings.

‘I Am Left With Nothing’

Recent flooding in Rwanda has left many persons with disabilities without homes and jobs. “Sincerely speaking, I [am] left with nothing,” says Theophile Nzigiyimana, who considers himself lucky to have escaped the flooding. The flooding demonstrates the disproportionate impacts that disasters have on persons with disabilities, which will only intensify as climate change continues.

Read more about ‘I Am Left With Nothing’

Neera Adhikari types on a computer at her desk.

‘Leadership Training is a Key Focus’

DJP Fellow Sita Sah interviews Neera Adhikari about starting the Blind Women Association Nepal (BWAN) and the steps BWAN has taken to advance the rights of Nepali women who are blind and low-vision. Women with disabilities, particularly those living in rural areas, “face discrimination from family and society which prevents them from venturing outside their homes,” says Adhikari. “In a household where there are two children, one disabled son and one daughter, societal beliefs often favor sending the son to school while neglecting the daughter’s education.”

Read more about ‘Leadership Training is a Key Focus’

Satya Devi Wagle sits at her desk, signing papers.

Accessible Instruction

Nepal has between 250,000 and one million Deaf people, but most do not attend school. In many schools for Deaf individuals, education ends at 10th grade, and higher education is rarely available and often inadequate. DJP Fellow Bishwamitra Bhitrakoti interviews Satya Devi Wagle from the National Federation of the Deaf Nepal about the strategies, challenges and successes of her work on inclusive education. “Because hearing teachers are not competent in sign language, there is no quality instruction in a resource class in Nepal,” she says. “We are working … to create a Deaf-friendly curriculum.”

Read more about Accessible Instruction