Skip to main content
Sebuah gubuk yang terletak di Jongaya, sebuah komunitas kusta di Sulawesi Selatan, Indonesia.
Di Jongaya, orang yang mengalami kusta hidup terpisah dari penduduk lainnya di Sulawesi Selatan, Indonesia. Foto oleh Dija.

News

‘Setiap Orang Memiliki Mimpi’

Play audio version

Aktivis Hak Disabilitas Farida Berkampanye Melawan Stigma Kusta

18 Juli 2022

MAKASSAR, Indonesia — Setiap tahun, rata-rata 250.000 orang didiagnosis mengalami kusta di seluruh dunia. Sebagai salah satu penyakit tertua di dunia yang telah dipelajari dan diobati berkali-kali, mengapa masih ada stigma yang kuat dan negatif di sekitar mereka yang terjangkit penyakit ini? Kesalahpahaman tentang kusta sangat banyak. Di beberapa negara, orang masih percaya bahwa itu adalah penyakit keturunan yang dapat diturunkan dari orang tua ke anak, sementara yang lain melihatnya sebagai tanda “darah yang tidak murni.” Di Indonesia, negara dengan insiden kusta tertinggi ketiga di dunia dengan sekitar 17.000 kasus baru setiap tahunnya, penyakit menular kronis ini masih sering dianggap sebagai kutukan atau hukuman dari Tuhan.

Kesalahpahaman tentang kusta ini muncul dalam berbagai bentuk. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, wanita mengalami kusta yang kemudian melahirkan, menghadapi risiko anaknya diambil dari mereka, sementara pria dan wanita yang terjangkit penyakit ini kadang-kadang dipaksa untuk hidup terpisah dari masyarakat lainnya dalam apa yang dulu dikenal sebagai “koloni kusta.” Secara keseluruhan, banyak orang yang mengalami kusta terjebak dalam siklus kemiskinan dan diskriminasi yang tak pernah berakhir. Mereka menghadapi hambatan nyata untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan, membuat mereka sangat rentan terhadap kemiskinan ekstrim. Di Indonesia, kurangnya informasi dari pemerintah tentang penyakit kusta melanggengkan stigma, menyebabkan mereka yang terkena terkadang menyembunyikan gejala mereka dan tidak jadi melakukan pengobatan. Hal ini membuat pemberantasan penyakit ini di negara Indonesia menjadi tidak mungkin. 

“Setiap orang memiliki impian. Dulu saya ingin menjadi guru tapi kendalanya … karena saya menderita kusta, saya dikeluarkan. …. Itu saja.”

Farida

Aktivis hak-hak disabilitas dan kusta Farida, yang memang memiliki satu nama, telah mengalami langsung diskriminasi ini di Sulawesi Selatan, Indonesia. Saat masih duduk di bangku SMP, ia didiagnosis menderita kusta dan dikeluarkan karena tertular penyakit tersebut. “Setiap orang punya mimpi. Dulu saya ingin jadi guru tapi kendalanya… karena saya kusta, saya dikeluarkan. …. Begitu saja,” katanya. Farida pindah ke Jongaya, salah satu dari sedikit komunitas kusta yang masih ada di Indonesia saat ini, untuk tinggal bersama seorang paman yang juga terjangkit penyakit tersebut. Di sana, dia menerima perawatan di rumah sakit dan menemukan kekerabatan di antara orang lain yang tinggal di desa itu. Meskipun terpisah dan tersembunyi dari masyarakat lainnya, Farida dapat menetap di sini dan memulai hidupnya. “Pada tahun 1989, tiga bulan setelah saya berada di sana, saya menikah, saya menyelesaikan pengobatan saya. … Suami saya juga [orang yang mengalami kusta],” katanya.

Namun, rasa penerimaan dan komunitas itu hanya ada diJongaya. Setelah Farida dan suaminya mendapatkan seorang anak laki-laki yang lahir tanpa kusta, anggota keluarga Farida, terutama seorang bibi dan sepupunya, merasa khawatir. Berbekal informasi yang salah tapi banyak berlaku seputar penularan kusta, mereka khawatir anaknya akan mengalami penyakit tersebut saat tinggal bersama ibunya. (Kenyataannya, begitu penderita kusta memulai pengobatan, seperti yang dilakukan Farida, mereka tidak lagi menularkan). Mereka mengusulkan untuk mengambil anak itu dari Farida dan suaminya untuk tinggal bersama mereka. Farida dengan tegas menolak. “Saya kembali ke desa saya. …. Bibi dan sepupu saya juga ingin mengambil anak saya, tetapi saya tidak mau karena saya bisa merawatnya sendiri. Mereka takut anak saya juga akan terkena penyakit kusta. Itu sebabnya mereka ingin mengambil anak saya ketika dia berusia lima atau enam bulan,” katanya. Dia ingat seorang anggota keluarga yang tidak dikenalnyal berkata, “Anakmu juga akan terkena penyakit jika dia tinggal bersamamu!” Tidak terpengaruh, Farida dan suaminya membesarkan anak mereka sendiri.

Farida, seorang wanita Indonesia, berpose di depan kamera.
Farida berjuang untuk mempertahankan anaknya setelah didiagnosis menderita kusta. Foto oleh Dija.

Hari ini, Farida telah bebas kusta. Sekarang dia ingin membantu memerangi stigma seputar penyakit ini di komunitasnya dan di seluruh Indonesia. Dia telah menjadi penganjur dan pemberi dukungan moral kepada orang lain yang mengalami kusta. Dia juga anggota Perhimpunan Mandiri Kusta Indonesia (PerMaTa) dan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulawesi Selatan, di mana dia mempromosikan reformasi kepemerintahan, mengumpulkan data, dan membantu kasus-kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap orang-orang yang mengalami kusta di Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan. Di Indonesia, 26 provinsi dan 401 kota/kabupaten telah berhasil menghapus kusta, dengan tingkat prevalensi kurang dari 1 kasus per 10.000 jiwa. Sayangnya, Pulau Sulawesi, di mana Sulawesi Selatan berada, belum mencapai status ini. Pada tahun 2020, sebuah studi yang diterbitkan oleh Kanwil Kesehatan Sulawesi Selatan menemukan bahwa tingkat prevalensi di provinsi tersebut adalah 7,57 per 10.000 jiwa, jauh lebih banyak dari tingkat target <1 per 10.000 jiwa. Selain itu, laporan tahun 2017 yang diterbitkan oleh Universitas Bumigora di Nusa Tenggara Barat, Indonesia, menemukan bahwa jumlah kasus di Sulawesi berkontribusi pada “16,5% dari total kasus di Indonesia.”

Farida membantu mengkampanyekan kesadaran akan kusta di sekolah-sekolah dan di antara orang-orang yang mengalami kusta. “[Kusta dapat disembuhkan] … dengan minum obat secara teratur. …. Setiap kali kita tidak minum obat, penyakitnya bisa kembali lagi, dan kita harus memulai pengobatan dari awal lagi. …. Saya memberikan pengertian ini kepada masyarakat,” katanya.

Kusta disebabkan oleh bakteri yang menyerang saraf perifer dan kulit, menyebabkan mati rasa di beberapa area tubuh serta bercak kulit putih, benjolan, dan pembengkakan. Ada dua jenis kusta yang umum: paucibacillary (PB), ditandai sebagai penyakit yang kurang lanjut/kurang berkembang dengan beban bakteri yang rendah, dan multibacillary (MB), ditandai sebagai penyakit yang lebih lanjut dengan beban bakteri yang lebih tinggi. Di Indonesia, protokol untuk mengobati kusta adalah pengobatan multi-obat yang sangat efektif, diberikan selama enam bulan hingga dua tahun bergantung pada tingkat keparahan penyakit. Jika tidak diobati, penyakit ini dapat mengakibatkan disabilitas permanen.

Farida berharap bahwa lebih banyak orang mengalami kusta akan mencari pengobatan dan informasi terkait dengan kusta akan menjadi lebih mudah diakses, sehingga dapat menghilangkan kesalahpahaman seputar penyakit ini dan akhirnya memberantas penyakit ini. Ia ingin suatu hari nanti melihat berlakunya sebuah kebijakan khusus yang menciptakan akses untuk pendidikan bagi anak-anak yang mengalami kusta di Indonesia. Menurut laporan yang disampaikan oleh 14 organisasi Indonesia yang mengadvokasi hak-hak orang yang mengalami kusta, para siswa sering diminta untuk berhenti bersekolah ketika mereka tertular penyakit ini. Pada tahun 2018, seorang anak dikeluarkan karena orang tuanya didiagnosis menderita kusta.

“Saya berkampanye dengan teman-teman saya [yang mengalami kusta] pada setiap Hari Kusta Sedunia,” kata Farida. “Kami turun ke jalan bersama dan mengunjungi daerah-daerah. Kami melakukannya dengan [PerMaTa], kepala Dinas Kesehatan di daerah … kami membagikan bunga, brosur kepada masyarakat … [dengan informasi] bahwa kusta dapat disembuhkan.”

Dija adalah DJP Fellow 2022 dan ketua HWDI Sulawesi Selatan. @ 2022 HWDI. Semua hak cipta dilindungi undang-undang.

News From the Global Frontlines of Disability Justice

Jannat Umuhoza sits outside wearing dark glasses.

The Language Gap

More than a year after the launch of Rwanda’s Sign Language Dictionary, Deaf communities are still waiting for the government to make it official. Without Cabinet recognition, communication in classrooms, hospitals, and courts remains inconsistent. “In the hospital, we still write down symptoms or point to pictures,” says Jannat Umuhoza. “If doctors used sign language from the dictionary, I would feel safe and understood.”

Read more about The Language Gap

Zulaihatu Abdullahi takes a selfi.

Failure to Inform

Zulaihatu Abdullahi dreamed of finishing school and building a home of her own. But at 19, she died of untreated kidney disease because no one could communicate with her in sign language. Her story reveals how Deaf Nigerian women are often left without lifesaving care. “If only she had access to healthcare where someone could guide her… explain each step, she might still be here,” says Hellen Beyioku-Alase, founder and president of the Deaf Women Aloud Initiative.

Read more about Failure to Inform

Sylvain Obedi reaches for an ecological briquette from a pile in front of him. He's at a clean cooking event led by the UN Development Programme's Youth4Climate initiative.

Disability in the Crossfire

In Goma, Democratic Republic of Congo, ongoing conflict and forced displacement have hit people with disabilities hardest. Rebel groups seized supplies from a clean cooking initiative designed to support displaced people with disabilities, leaving many trapped without aid. “It is still a big difficulty for authorities or government or humanitarian organizations to make a good decision which includes everyone,” says Sylvain Obedi of Enable the Disable Action.

Read more about Disability in the Crossfire

Two staff members at the Nahla Prosthetics & Orthotics Center in Gaza work in a small room, organizing medical supplies and prosthetic components.

Gaza’s Amputees

At the Nahla Prosthetics & Orthotics Center in Gaza, staff wake up each day wondering if it’s safe to open before treating a handful of people in need of new limbs, adjustments, or psychosocial support. With famine declared in Gaza City and aid restricted, the center faces mounting shortages of materials and trained technicians. “Our colleagues call the situation a nightmare with no end,” says Zaid Amali, Humanity & Inclusion’s senior advocacy officer in Palestine.

Read more about Gaza’s Amputees

Jean Baribwira, a Rwandan man with a physical disability, wears flip-flops on his feet to walk.

‘People like Me Can Dare to Dream of Standing Upright’

Rwanda’s decision to cover prosthetic and orthotic services under national health insurance is being hailed as a milestone for disability rights. Advocates say it marks a shift toward greater inclusion and access to essential mobility aids. “This is more than a health policy,” says Jean Baribwira. “It is dignity, inclusion, and hope.” For many, the change represents long-overdue recognition of mobility as a basic right.

Read more about ‘People like Me Can Dare to Dream of Standing Upright’

Douglas Izu, a Deaf Nigerian man, signs to the camera. An image of the nation of Nigeria is behind him.

More Than Words

In Nigeria, native sign languages like Yoruba, Hausa, and Igbo Sign Language are far more than communication tools. They are living expressions of Deaf identity and culture. While often dismissed as unsophisticated or “pidgin,” these local variants foster deep connection, creativity, and self-expression among Deaf communities, particularly those left out of formal education. “It isn’t something one can learn online,” says Douglas Izu. “One learns it through deep immersion in the adolescent Deaf community.”

Read more about More Than Words